Rabu, 15 November 2023 14:33 WIB
TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi pangan lokal semakin tergerus. Nasi putih dan makanan siap saji yang berbahan dasar terigu dan gandum impor hampir sepenuhnya menggeser pangan lokal di meja makan.
Di Desa Posiwatu, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata pengeluaran untuk membeli beras bisa mencapai Rp 40 juta lebih per bulan.
Ini berarti setiap bulannya ada Rp 40 juta lebih uang yang keluar dari desa Posiwatu hanya untuk membeli beras sebagai makanan pokok. Padahal, nenek moyang sudah mewarisi pengetahuan lokal bagi warga desa Posiwatu untuk mengelola sumber daya pangan lokal yang ada di sekitar.
Data mencengangkan ini dipaparkan oleh mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero yang melakukan pendataan lengkap tentang pangan lokal di desa Posiwatu.
Sebanyak 10 mahasiswa IFTK Ledalero berada di sana selama 4 bulan dalam rangka program rintisan Merdeka Belajar Kampus Merdeka Sekolah Lapang Kerja Budaya (SLKB) Kedaulatan Pangan.
Apong Boruk, mahasiswa IFTK Ledalero peneliti pangan, membeberkan kalau sebanyak 125 kepala keluarga (KK) di desa Posiwatu membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pangan dan non pangan sebesar Rp 274 juta sebulan.
Untuk belanja pangan sebesar Rp 115 juta. Sisanya kebutuhan non pangan. Uang yang keluar dari desa cukup besar hanya untuk membeli kebutuhan pangan.
Apong mengaitkannya dengan semakin berkurangnya warga yang makan pangan lokal. Desa Posiwatu memiliki 134 jenis pangan lokal. Dari jumlah ini, tercatat ada 14 jenis pangan yang sudah punah dan 50 jenisnya disebut nyaris punah.
Fakta lainnya, meski stok jagung di desa Posiwatu cukup tinggi, pemenuhan karbohidrat dari nasi putih justru yang paling tinggi. Nasi putih berasal dari beras yang berasal dari luar Lembata seperti, Sulawesi dan Jawa.
“Ketergantungan warga desa Posiwatu pada beras putih sangat tinggi. Mereka sudah terbiasa atau terpola untuk makan nasi,” ungkap Apong saat mempresentasikan temuannya saat pameran pangan lokal di desa Posiwatu, Selasa, 14 November 2023.
Kondisi ini semakin memprihatinkan dengan temuan lainnya. Adanya ancaman terputusnya generasi petani karena makin banyak anak muda usia produktif yang sudah tidak tertarik lagi menjadi petani, produktivitas lahan pertanian yang rendah dan sumber pangan dari ternak yang terbatas.
Seyogyanya, jenis pangan masyarakat Posiwatu (NTT pada umumnya) sangat beragam. Ini terlihat saat pameran pangan lokal yang disiapkan lima kelompok tani di desa tersebut. Mereka menghidangkan jagung titi, jagung kuning (kvar kumasen), kacang tanah (uta tanoner), pisang kepok (muk bugisen), singkong (sura kajor), daun singkong (sura lolon), beras merah, beras hitam, sayur kelor, olahan biji asam, biji mangga, biji nangka, ulat bambu berprotein tinggi, pisang rebus dan beragam olahan umbi-umbian yang tumbuh subur di kebun masyarakat.
Direktur Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Melkior Koli Baran menyebutkan ketergantungan masyarakat desa Posiwatu pada beras dan terigu impor sebenarnya merupakan cerminan pola konsumsi masyarakat di NTT sekarang. Ketergantungan ini menimbulkan ketahanan pangan masyarakat ada di titik terendah dan sudah pada kondisi darurat.
Program Rintisan SKLB
Pemerintah Desa Posiwatu dengan dukungan dari YPPS bekerja sama dengan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi serta IFTK Ledalero menyelenggarakan Sekolah Lapang Kerja Budaya (SLKB) Kedaulatan Pangan sebagai program rintisan Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Ini merupakan program uji coba yang baru dilangsungkan di dua tempat yakni di desa Posiwatu, Kabupaten Lembata dan di Langgur, Maluku Tenggara. Para mahasiswa tinggal bersama warga dan membuat pangkalan data untuk desa dari tanggal 18 Juli-14 November 2023.
Dalam pendataan, mahasiswa dibagi ke dalam kedua kelompok, yakni kelompok yang mengambil data sosial dan kelompok yang mengambil data pangan per kepala keluarga. Hasilnya, para mahasiswa berhasil membuat Sistem Pangkalan Data Pemerintah Desa Posiwatu yang sangat lengkap secara digital.
“Sistem pangkalan data mencakup semua sektor kehidupan warga. Data juga bersifat terpadu yang artinya jelas kaitannya satu sama lain. Semua data tepat dan benar. Bisa dimutakhirkan,” ungkap Acon Hokor, salah satu mahasiswa peneliti.
Selain Sistem Pangkalan Data, para mahasiswa juga akan membukukan tulisan etnografis yang sudah mereka kumpulkan selama 4 bulan berada di desa Posiwatu, Kabupaten Lembata. *
Sumber: Tribun Flores.com
Penulis: Ricko Wawo | Editor: Egy Moa