Boru, 23 Juli 2025

Di sebuah rumah sederhana di Desa Boru, Kabupaten Flores Timur, Maria Domitilla Oa akrab disapa Mama Oa menyambut pagi dengan kesibukan khasnya. Tangannya lincah membersihkan sayur hasil kebun, sambil sesekali memanggil anak-anak untuk sarapan. Usianya 51 tahun, namun semangatnya seperti tak pernah lelah.
“Sehari-hari saya bertani, berjualan di pasar, dan memelihara ayam. Hidup saya ya seputar rumah, kebun, dan pasar,” kenangnya. Bersama suaminya, Paulus Kelen, ia membesarkan tiga anak. Anak sulung bekerja di Manado, anak kedua duduk di bangku SMA, dan si bungsu masih SD. Selain itu, ia juga merawat seorang keponakan serta ibunya yang telah berusia 80 tahun dan sering sakit-sakitan.
Hidup keluarga ini berjalan tenang, sampai suatu hari pihak desa mendaftarkan Mama Oa sebagai anggota Kelompok Siaga Bencana (KSB) yang dibentuk dengan dukungan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) dan Catholic Relief Services (CRS). Awalnya ia tak begitu paham perannya, namun setelah mengikuti sosialisasi, ia mengerti bahwa ia dilatih menjadi relawan desa yang siap menghadapi bencana.
Kesempatan belajar itu membawanya pada perubahan besar. Ia mulai aktif mengikuti pelatihan: cara bertindak saat bencana, bekerja dalam tim, hingga berani mengemukakan pendapat di depan orang banyak. “Tidak lama setelah dibentuk, Gunung Lewotobi Laki-laki meletus. Semua yang kami pelajari langsung dipraktikkan,” ujarnya.
Bersama anggota KSB lainnya, Mama Oa bergerak cepat mengevakuasi warga sebelum bantuan dari TAGANA dan BPBD Flores Timur tiba. Setelah itu, ia ikut mengelola dapur umum di Pos Layanan Pengungsian (POSLAP) Konga, dengan sendirinya kami langsung memahami tugas dan fungsi kami di pengungsian.
Tiga bulan kemudian, Mama Oa pulang ke Dusun Riang Wulu. Meski berada di luar kawasan rawan bencana, dampak erupsi tetap terasa: rumah rusak, kebun hancur, ternak terbengkalai. Namun ia menolak menyerah. “Kami mulai dari nol lagi. Untung ada dukungan YPPS,” katanya.

Salah satu program yang mengubah hidupnya adalah kelompok simpan Pinjam SILC(Savings and Internal Lending Communities). Saya bergabung dengan kelompok SILC Tawa Gere pada 27 Juli 2024. Dengan modal pinjaman Rp500 ribu, ia membeli 15 ekor ayam KUB dan pakan. Ketika pinjaman pertama lunas, ia meminjam lagi Rp1 juta untuk menambah 20 ekor ayam. Kini, ternaknya berkembang pesat hingga lebih dari 100 ekor, dan anakan ayam dijual seharga Rp65 ribu per ekor.
Keberhasilan ini membuatnya berani melangkah lebih jauh. Bersama pendamping YPPS di Desa Boru, ia membentuk kelompok baru bernama SILC Pembantu Abadi, sambil tetap aktif di kelompok pertama. “Ayam-ayam ini jadi penolong saat hasil kebun tidak laku di pasar,” tuturnya.
Puncak pencapaiannya datang saat ia diundang menjadi narasumber di Desa Naitae, Kabupaten Kupang. Untuk pertama kalinya, Mama Oa naik pesawat dan menginap di hotel. “Itu pengalaman luar biasa yang tak pernah saya bayangkan,” ujarnya sambil tersenyum.
Kini, meski hidup belum sepenuhnya pulih, Mama Oa tetap teguh melanjutkan perannya sebagai relawan, petani, dan penggerak desa. “Dulu saya hanya ibu rumah tangga. Sekarang, saya bisa membantu orang lain dan memberi manfaat untuk desa. Walaupun nanti YPPS dan CRS tidak lagi mendampingi, saya akan teruskan semangat ini,” tegasnya.
Penulis: Emilianus Yohanisko R Werang/ YPPS
Editor: SP Pati Hokor/ YPPS