Hampir semua negara di dunia memiliki tradisi memanggil hujan tak terkecuali Indonesia. Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi memanggil hujan. Salah satu tradisi unik ini berada di Timur Indonesia, tepatnya di Desa Blepanawa, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Dalam penelusuran tim YPPS ternyata tradisi ini sudah ada sejak berbadad-abad lalu. Uniknya di desa ini memiliki satu tradisi namun ada dua ritual yang berbeda yakni Tradisi “Hebo Ma”.
Tradisi “Hebo Ma” atau tradisi memandikan kebun merupakan tradisi yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sebuah ritual untuk mengusir hama dan menyambung hujan.
Ritual Hebo Ma Mengusir Hama

Awal mulanya tradisi ini dimiliki oleh orang asli suku Tukan dan suku Herin yang berasal dari Karawatung, Solor Barat kemudian dibawa ke Desa Blepenawa. Namun, sebelum memasuki Desa Blepanawa, orang mola (dukun) suku Lein melakukan heton (terawang) kepada suku Tukan dan suku Herin untuk membuktikan niat kedatangan kedua suku ini. Alhasil merekapun diterima.
Ritual dilakukan apabila muncul keluhan dari pemilik kebun tentang serangan hama terhadap kebun miliknya. Keluhan itu disampaikan kepada pemangku adat Desa Blepanawa, kemudian pemangku adat akan menyampaikannya kepada tua adat suku Tukan untuk melaksanakan ritual itu.
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi selama ritual dilakukan. Diantaranya pemilik kebun harus menyipakan seekor ikan tia atau ikan burak dan beras. Nantinya ikan dan beras itu ditaruh di tempat ramuan diambil. Dengan kata lain berterima kasih kepada alam yang sudah memberikan kekayaan alam untuk membantu manusia.
Sementara itu, tanaman yang harus disiapkan untuk dijadikan ramuan adalah wai kora (genoa), rotan, weter, daun bambu dan kelapa. Semua tanaman tersebut dicampur dengan air kelapa yang sudah dikupas sabutnya menyisakan tempurung dan dibelah satu kali (harus sama rata).
Setelah ramuan selesai dimantrai, pemilik kebun akan mengambilnya lalu memercikan ke seluruh kebunnya menggunakan rotan.
Tak berakhir di situ setelah ritual dilakukan, daun rotan dipasang di sisi barat dan timur dengan arah panah menghadap timur dan barat. Hal ini dipercaya oleh masyarakat setempat untuk menghalangi hama masuk dari arah barat dan Timur.
Untuk mengambil kembali panah ini harus dilakukan dalam kurun waktu ganjil. Misalnya hari ketiga atau hari kelima, dst setelah hari ritual dilakukan. Pemilik kebun boleh memasuki kebunnya apabila kepala suku Tukan yang mengadakan ritual sudah mengambil kembali panah tersebut.
Ritual Hebo Ma Menyambung Hujan

Ritual “Hebo Ma” Menyambung Hujan mirip dengan ritual “Hebo Ma” Mengusir Hama.
Ritual ini dilakukan apabila hujan berhenti namun padi dan jagung belum sepenuhnya berbulir sehingga pemilik kebun akan menyampaikan kepada pemangku adat dan diteruskan kepala suku Nedabang.
Sebelum ritual dimulai ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni menyiapkan ikan tia atau ikan burak, beras, arak dan sirih pinang. Semua bahan ini akan ditukar dengan bahan-bahan (tanaman) pembuatan ramuan yang diambil dari hutan.
Setelah syarat itu terkumpul, kepala suku Nedabang akan pergi ke hutan mencari tanaman yang digunakan untuk ramuan selama ritual berlangsung antara lain daun wai, daun sirsak, daun gelete, tumbuhan keliket, tumbuhan kemu’u, tumbuhan kelekat, tumbuhan plara dan kelapa.
Semua tanaman itu dicampur dengan air kelapa. Ramuan itu dipercik ke seluruh kebun menggunakan daun sirsak.
Tak berakhir di situ, kepala suku Nedabang akan mengeluarkan dua buah batu yang tengahnya berlubang (berwarna hijau) dan bulat utuh (berwarna merah) diarahkan ke matahari diiringi dengan bahasa adat meminta hujan agar padi dan jagung bisa segera berbuah.
Ritual dilakukan di Ma Ina (Kebun Induk) dan tempat peletakan ramuan disebut heri era . Ritual ini hanya dipercaya oleh masyarakat Desa Blepanawa. ***(Penulis: Avilla Riwu)