Sosialisasi oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial menumbuhkan kesadaran bagi Mama Mery mengolah lahannya menjadi pertanian yang cerdas iklim

Ladang padi dan jagung di kawasan perladangan Waidoko para petani desa Mokantarak, kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur menggantung asa berharap panen raya. Melewati bulan Januari dan memasuki bulan Februari 2023 adalah masa yang sangat menjanjikan dari ladang-ladang padi dan jagung di Waidoko.
Maria Barek Maran (58), salah seorang petani perempuan yang merajut asa di perladangan Waidoko bersama para petani sekampung. Keceriaan mama Mery, demikian ia biasa disapa di kampungnya, berujung di bulan Maret. Demikian pun para petani lainnya sekampung. Pasalnya, sejak 6 Maret hingga 2 April 2023 tak setetespun hujan membasahi ladang para petani ini. Langit cerah disertai terpaan panas matahari memanggang ladang-ladang di perbukitan berbatu itu. Tanaman ladang yang hijau dan menjanjikan di bulan-bulan sebelumnya sontak layu merunduk tak berdaya. Para petanipun tak berdaya menghadapi guncangan yang tak terduga sebelumnya.
Berbeda dengan sebidang kecil lahan di tengah-tengah ladang para petani Mokantarak. Padi dan jagung serta kacang ijo masih tegak menantang teriknya matahari di bulan maret itu. Itulah demplot sekaligus kebun belajar Pertanian Cerdas Iklim yang dipelopori Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial bersama CRS melalui program INCIDENT. Di kebun inilah, para petani belajar bersama menggunakan sumberdaya lokal untuk mengurangi risiko iklim.
Perhatian mama Mery tak berpaling dari kebun demplot itu. Tanaman padi, jagung dan kacang ijo masih bisa bertahan dari teriknya matahari, bahkan berkecambah dan berbunga hingga berbuah. Tanaman-tanaman di sana mampu beradaptasi dengan panas terik yang membakar ladang-ladang petani di Waidoko. “Saya kaget campur kagum menyaksikan tanaman padi, jagung dan kacang ijo di lokasi itu yang segar dan hijau. Padahal panas mencapai sebulan. Sedangkan di kebun saya yang berbatasan langsung dengan kebun demplot itu semuanya layu”, tuturnya.

Kebun demplot itu seolah memberi bukti dan menantangnya. “Saya ingat penjelasan bung Sila dan Elo dari Yayasan bahwa penggunaan mulsa dari daun-daun hijauan dan sampah organik kebun adalah cara baik dalam bertani sambil menjaga kelembapan dan merawat kesuburan tanah”, katanya penuh penyesalan.
“Saya mesti minta maaf, karena pada awal mengikuti sosialisasi program ini, kami semua tidak mau ikut. Kami bertahan dengan pola kami, yakni membakar lahan sebelum menanam” demikian ia menyampaikan maaf sambil menambahkan bahwa membakar lahan sangat kuat berakar dalam adat budaya kami di sini Mokantarak yang mesti ditinjau lagi.
Ia bercerita, saat itu karena marah dan penasaran dengan cara bertani di kebun demplot, diam-diam dia melakukan pengamatan sekedar mencari bukti apakah benar motivasi yang Yayasan berikan itu.
Cerita mama Mery, pada pertengahan Januari 2023, saat itu hujan lebat. Diam-diam dia mengamati kebun miliknya. Memantau aliran air di setiap pematang. Pada pematang-pematang yang ditutupi mulsa, humus tanah tidak terbawa oleh aliran air dan tanah pun lebih lembap. Sementara pematang yang tidak ditutupi mulsa, humus tanah terbawa oleh air dan tanah cepat kering setelah hujan berhenti.
Ia duduk dan mengingat sosialisasi dari Yayasan tentang pertanian cerdas iklim, terlebih kekeringan. Mengenang bagaimana awalnya kebun demplot itu diurus. “Saat itu saya agak marah menyaksikan kebun demplot penuh rumput dan tanah ditutupi daun-daun kering dan sampah kebun. Saya bilang, lahan begini, nanti tanamannya bagaimana? Hanya orang pemalas yang punya kebun seperti ini”, katanya mengenang suatu hari yang lalu.
Kini mama Mery bukan lagi di hari yang lalu itu. Di suatu hari di akhir Maret. Di kebunnya yang bertetangga dengan kebun Demplot, ia jujur ikhlas mengaku telah mendapat pencerahan. Hasil nyata telah ia lihat. Hujan tidak turun hampir sebulan dan menyebabkan tanaman di hamparan ladang Waidoko layu dan kering, sedangkan kebun demplot aman-aman saja. Itu pelajaran yang paling nyata.
Kebun demplot Pertanian Cerdas Iklim telah membagi cerita nyata bagi Maria Barek Maran, petani perempuan dari Mokantarak, serta para petani lainnya di kawasan perladangan Waidoko. “Saya selalu ingat dengan penjelasan Fasilitator program INCIDENT dari Yayasan bahwa salah satu fungsi mulsa adalah mencegah erosi humus tanah. Juga mencegah tumbuhnya rumput liar. Tanah juga lebih lembap dan tanaman tahan panas. Saya kembali ke pondok dan duduk merenung sendiri. Saya pun bertanya, mengapa cara ini tidak saya peroleh ketika saya masih muda. Demplot ini adalah sekolah bagi kami”. ***Liberius Langsinus, FF INCIDENT