“PERTANIAN ADAPTIF KEKERINGAN – BEST PRACTICES DAN KARYA INTELEKTUAL”

LATARBELAKANG
- Arah Organisasi:
Sejak tahun 2007 Yayasan Pengkajian dan Pengembanagan Sosial merancang visi baru tentang Keselamatan Ecosistym Pulau-pula Kecil. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) mulai digarap. Hingga tahun 2013 bersama stakeholder di Flores Timur menyelesaikan Kajian Risiko Bencana Kabupaten Flores Timur, Peta Risiko Bencana Kabupaten Flores Timur dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Flores Timur. Terpetakan 9 ancaman bencana di kabupaten ini.
2. Ancaman Hydrometerologi:
Dari semua ancaman yang terpetakan, teridentifikasi mayoritas bencana di Flores Timur merupakan bencana-bencana Hydrometerologi, yaitu: banjir genangan, banjir bandang, curah hujan berlebihan, longsor, kekeringan, angin kencang, naiknya permukaan air laut, abrasi pantai, kebakaran lahan dan wabah penyakit. Selain itu adalah bencana-bencana geologi, yakni letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami.
3. Perubahan Iklim dan Matapenghidupan
Berangkat dari tingginya ancaman hydrometerolohgi inilah selanjudnya dirancang program yang memberi perhatian pada Pengurangan Risiko Bencana dan Guncangan Perubahan Iklim terhadap Kelangsungan Matapenghidupan sebagai ruang belajar bersama di antara para petani dan stakeholder terkait. Program ini menyasar dua level, yakni level Komunitas dan Level Pemerintah Kabupaten. Pendekatan program adalah advokasi berbasis bukti. Sejak tahun 2018 bersepakat dan bekerja sama dengan Oxfam GB dalam program Pengurangan Risiko Bencana dan Perubahan Iklim melalui Proyek Indonesia Climate and Disastes Resilience Community (ICDRC).
4. Lokasi Belajar
Di Kabupaten Lembata lokasi Belajar Pengurangan Risiko Bencana dan Perubahan Iklim dengan ancaman Kekeringan Lahan terhadap kelangsungan matapenghidupan berlangsung di Desa Waienga dan Lerahinga, Kecamatan Lebatukan di bagian Utara Lembata dan desa Posiwatu, kecamatan Wulandoni di bagian Selatan Lembata. Selain itu 5 desa berada di kabupaten Flores Timur, yakni Helan Langowuyo, Beda Lewun dan Nele Lamawangi di Kecamatan Ile Boleng, desa Kimakamak di Kecamatan Adonara Barat dan desa Gekeng Deran di Kecamatan Tanjung Bunga. Pada desa-desa inilah, para petani difasilitasi untuk belajar perubahan iklim global dan belajar memahami perubahan musim dari tahun ke tahun dan merumuskan aksi adaptasai dan mitigasi dalam membangun matapenghidupan.
AGENDA BELAJAR
Pada lokasi-lokasi belajar ini kami mengembangkan agenda belajar bersama tentang Pengurangan Risiko Bencana dan guncangan Perubahan Iklim terhadap Matapenghidupan sebagai petani lahan kering. Agenda-agenda ini dirancang setelah beberapa sesi belajar awal selama kurang lebih setahun tentang Maping Isu Desa. Agenda belajar yang disepakati adalah:
- Pengetahuan Global Tentang Iklim
- Membongkar Pengetahuan Lokal Tentang Iklim Micro
- Memahami Siklus Bertani Pada Lahan Kering Selama Setahun
- Merefleksikan dan Memahami Pola Pengolahan Lahan Kering Selama Setahun
- Merevitalisasi Tanda-tanda alam terkait pergantian musim kemarau dan musim hujan
- Konfirmasi Pengetahuan Global tentang Iklim dan Pengetahuan lokal tentang Iklim
- Pilihan Adaptasi dan Mitigasi Iklim: Kekeringan dalam Pertanian
TANTANGAN
Kajian PRB dan Guncangan Iklim dilakukan dalam proses belajar bersama masyarakat dalam memahami iklim global dan iklim micro menggunakan alat kajian Pentagon Asets, yakni mengkaji guncangan iklim terkait kapasitas dan kerentanan alam, manusia, infrastruktur, sosial dan finansial.
Kajian memetakan tantangan dalam membangun matapenghidupan berkelanjutan akibat guncangan iklim meliputi 4 aspek, yakni alam, keuangan, sosial dan manusia.
a. Tangtangan Alam (natural)
Refleksi pengalam selama 30 tahun terakhir sebagai petani menemukan perubahan-perubahan signifikan pada alam. Musim hujan semakin pendek dari 6 bulan menjadi 3 sampai 4 bulan saja, curah hujan sangat kurang. Bahkan curah hujan menurun drastis ketika
tanaman di ladang jelang berbunga dan berbuah. Angin kencang pada saat tanaman pertanian di ladang jelang berbunga dan berbuah. Akibatnya, gagal panen dan berlanjud ke masalah ketersediaan pangan selama setahun yang berdampak pada mallnutrisi bagi anak-anak.
Hal kedua dari alam adalah pola bertani tebas bakar dan ladang berpindah. Pola ini dilakukan karena kesuburan tanah ladang selalu berkurang pada tahun kedua dan setersunya. Ladang ditinggalkan untuk menghutan kembali dan hutan baru ditebang dan dibakar untuk dijadikan ladang yang akan melepas karbon ke udara sehingga menyumbang pembentukan gas rumah kaca.

- Tantangan Biaya (Finansial)
Curah hujan tak menentu, serta ketidakpastian kapan musim hujan tiba membuat petani ragu-ragu menanam di awal musim hujan. Akibatnya, benih yang ditanami gagal tumbuh. Tanaman gagal tumbuh juga karena hujan awal selalu tidak pasti sehingga petani ragu-ragu menanam, sementara benih gulma yang tersimpan di ladang langsung tumbuh. Akibatnya tanaman pertanian yang ditanam kemudian itu pertumbuhannya kalah terhimpit gulma. Petani mesti mengeluarkan biaya sangat besar untuk mengongkosi tahapan penyiangan tanaman (istilah petani: cuci rumput). Dalam setahun kegiatan cuci rumput ini bisa diulangi hingga 2 sampai 3 kali, bahkan sampai 4 kali. Untuk kegiatan cuci rumput ini petani mesti membayar tenga kerja di kampung dengan biaya antara Rp50.000-Rp100.000/orang/hari. Akibatrnya usaha pertanian tanaman pangan defisit lantaran ongkos kerja melampauan total hasil panen setahun. Akibatnya generasi muda memandanhg sektor pertanian sebagai mata penghidupan yang keras, kotor, berat, hina dan tidak menguntungkan. Petani muda di desa berkurang jumlahnya dari tahun ke tahun. Pertanyaan reflektif: jika tidak ada lagi orang menjadi petani, siapakah yang akan menanam tanaman pangan? Jika tidak ada yang menanam tanaman pangan, dari manakah kita mendapatkan pangan setiap hari untuk kehidupan kita?
- Tantangan Sosial
Salah satu perekat sosial di komunitas adalah gotongroyong dalam sektor pertanian. Ketika pertanian menjadi marjinal karena guncangan iklim di tingkat lokal, maka tantangan sosial yang terjadi di komunitas-komunitas pada masa depan yang mulai terasa sekarang adalah satu persatu kelompok-kelompok gotong royong pertanian bubar. Satu persatu anggotanya tidak lagi menjadikan pertanian sebagai andalan matapenghidupan. Kelompok tani menjadi media megakses saja program-program bantuan pertanian dari pemerintah tanpa punya substansi yang kuat dan berkelanjutan.
- Tantangan Manusia
Jumlah petani di desa-desa didominasi oleh orang-orang tua di atas 45 tahun. Generasi muda di desa tidak lagi mengandalkan sektor pertanian, bahkan generasi muda berpendidikan memilih merantau ke luar dari kampungnya. Jika tidak ada inovasi yang menggairahkan pertanian, maka dua puluh tahun mendatang tidak ada lagi orang desa yang bertani. Dampaknya adalah ketergantungan pangan dari luar daerah menjadi beban baru bagi kabupaten ini.
KONFIRMASI PENGETAHUN
Untuk melahirkan inovasi pertanian tanaman pangan, kami melakukan dua pendekatan. Pertama, mencari referensi model pertanian bekelanjutan. Kedua melakukan konfirmasi ke alam, apakah ada pembelajaran dari alam untuk beradaptasi dengnan guncangan iklim global yang berdampak ke kekeringan ekstrem di tingkat lokal.
Empat aspek yang dikonfirmasi, yakni kekeringan, erosi tanah, gulma dan kesuburan tanah berkelanjutan.
- Kekeringan: dari konfirmasi ke alam, petani rombongan belajar menemukan bahwa di bawah pohon rindang dengan tumpukan daun-daun kering, tanahnya jauh lebih lembab dan gembur dibandingkan tanah lapang yang terbuka.
- Erosi: konfirmasi ke alam menemukan bahwa permukaan tanah yang tertutup menyerap dan menyimpan air hujan, sedangkan tanah lapang yang terbuka mudah terjadi erosi tanah saat turun hujan. Lapisan humus tanah tergerus keliuar dari ladang menyisahkan permukaan tanah tanpa humus.
- Ancaman Gulma: konfirmasi ke alam menemukan bahwa alam yang permukaan tanahnya tertutup daun-daun kering tidak terlihat gulma yang tumbuh liar dan berani.
- Kesuburan lahan: konfirmasi ke alam bahwa kebun gersang yang dibiarkan menghutan beberapa tahun Kembali pulih kesuburannya tanpa intervensi manusia dibandingkan tanah pertanian yang diolah terus menerus tanpa upaya perlindungan permukaan tanah.
Dari hasil konfirmasi ke alam, kami melakukan juga konfirmasi ke pengetahuan-pengetahuan tentang pertanian berkelanjutan. Kami menemukan bahwa model yang bisa dikembangkan adalah tanpa intervensi berlebihan oleh manusia yang berakibat merusak alam, pertanian yang tidak melepas karbon, pertanian yang tidak berbiaya tinggi, pertanian minimalis dan ramah iklim. Pendekatan pertanian yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada tanah untuk meregenerasi sendiri kesuburannya dari tahun ke tahun. Dengan demikian maka lahan pertanian akan tetap subur dari tahun ke tahun, bahkan tingkat kesuburannya meningkat.
PILIHAN INOVASI
A. Konsep Best Practices
Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial melahirkan konsep inovasi sebagai karya intelektual yakni “PERTANIAN ADAPTIF KEKERINGAN” dengan kombinasi forest dan ternak, dengan selalu memperhatikan aspek adaptasi dan mitigasi terhadap kekeringan, erosi tanah, pengendalian gulma dan membangun kesuburan tanah berkelanjutan. Alat yang digunakan sebagai kekuatan petani adalah “MULSA ORGANIK”.
Mulsa Organik menjadi alat para petani dalam pengembangn Pertanian adaptif kekeringan, yakni pertanian yang memungkinkan tanah pertanian meregenerasi kesuburannya dari tahun ke tahun. Mulsa menjadi kekuatan kebun, yang mendukung 4 aspek, yakni Zero Erosi, Kelembaban tanah, Pengendalian Gulma, Kesuburan Tanah serta 2 aspek pendukung yakni penanaman pohon dan pengandangan ternak.
- Zero Erosi tanah: ketika hujan turun, maka mulsa ini berfungsi melindungi permukaan tanah yang subur berhumus dari erosi tanah. Terpaan hujan tidak akan menggerus lapisan humus tanah karena terlindungi mulsa organic.
- Kelembaban tanah: Hujan yang turun akan meresap ke dalam tanah melalui mulsa yang menutupi permukaan tanah dan tersimpan di sana. Ketika panas matahari, penguapam air terhambat mulsa sehingga tanah kebun lebih lembab dibandingkan tanah yang permukaannya terbuka.
- Pengendalian Gulma: mulsa yang menutupi permukaan tanah akan membantu mengendalikan pertumbuhan gulma.
- Kesuburan tanah: mulsa organik akan lapuk di akhir musim hujan dan membentuk lapisan humus tanah yang baru.
- Penghasil Mulsa: Mulsa diperoleh dari sampah panen musim sebelumnya, serta daun-daunan berbagai pohon yang tersedia di kebun. Karena sampah panen musaim sebelumnya dibutuhkan sebagai mulsa, maka petani akan stop membakar sampah kebun. Bahkan petani menanam tanaman-tanaman legum yang daunnya dijadikan sebagai mulsa di musim kemarau dan di musim hujan. Oleh karena itu, pada teras-teras kebun ditanami tanaman-tanaman legum seperti gamal dan kelor yang daun dan ranting-rantingnya dipangkas dan ditebar sebagai mulsa di ladang pada musim kemarau dan musim hujan. Pada batas kebun dianjurkan untuk ditanami tanaman-tanaman pohon dan buahan, seperti pisang, sengon, bambu, gamelina dll. Daun dari pohon-pohon ini selain sebagai mulsa juga menjadi pakan ternak sapi dan kambing.
- Kandang Ternak: di setiap kebun dianjurkan untuk dibangun bandang ternak. Tanaman-tanaman pengahasil mulsa dari kelompok hijauan bisa menjadi pakan ternak, dan selanjudnya kotoran ternak rutin dibung saja di kebun pada musim kemarau untuk membantu menutrisi tanah.
Konsep Inovasi adalah Pertanian Adaptif Kekeringan sebagai pilihan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Pertanian”. Model kebun seperti ini efektif membantu mengikat karbon di dalam tanah.
B. Penerapan Konsep
Sejak tahun 2018, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial menerapkan konsep dan model pertanian ini di lingkup pekarangan rumah pada 10 desa di Flores Timur dan 3 desa di Lembata. Sebelumnya, sejak tahun 2011, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial telah mulai memfasilitasi lingkar belajar Permanen Agricultur (Permacultur) lingkup pekarangan rumah. Praktek Permacultur menjadi input dan refleksi terhadap gagasan adaptasi dam mitigasi PI dalam pertanian yang saat ini diterapkan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial bersama rombongan belajarnya.
- Tahun 2021, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial mulai menerapkan model ini ke kebun non pekarangan rumah oleh kurang lebih 2 orang petani di tiap desa di Flores Timur dan Lembata dengan hasil yang bisa dipelajari.
- Mulai masa persiapan kebun di tahun 2022 dan musim hujan di tahun 2022/2023, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial sedang siap memfasilitasi DEMPLOT di dua desa, yakni Waienga di Kecamatan Lebatukan dan Posiwatu di Kecamatan Wulandoni. Di desa Waienga melibatkan 11 orang petani dengan kebun berdekatan serta irisan belajar di desa Lerahinga. Di Posiwatu melibatkan 20 orang petani dengan kebun berdekatan.
- Tahun 2022: merampungkan catatan pengetahuan lokal tentang iklim dan pergantian musim dalam pertanian untuk dicetak jadi buku referensi.
REKOMENDASI
- Untuk mempromosikan model ini, mulailah dengan praktek kecil di pekarangan rumah untuk mendapatkan pengetahuannya.
- Membangun demplot sebagai lokasi belajar.
- Sebagai media belajar bersama, maka diharapkan dukungan Dinas Pertanian Kabupaten Lembata melalui para PPL di sekitar lokasi pembangunan Demplot tahun 2022/2023.
Pondok Liberti, Larantuka, 18 Mei 2022
Oleh Melkior Koli Baran (Pendiri Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial)
***