
Tahun ini beberapa desa di kabupaten Flores Timur giat dengan program Revolusi Pertanian. Satu hal positif di sini adalah desa-desa di Flores Timur sedang menggairahkan sektor pertanian yang mulai terpuruk.
Sektor pertanian dewasa ini cenderung marginal. Orang muda dan milineals di desa-desa kurang tertarik. Bertani dipandang sebagai pekerjaan berat dan hasil yang diperoleh tak sebanding dengan investasi yang dikeluarkan. Maka Revolusi Pertanian patut diapresiasi.
Setelah saya menyerap sejumlah informsi tentang Revolusi Pertanian ini, justru pandangan saya berubah. Melalui program ini, para petani didukung pemerintah desa membabat hutan mencapai 50 hektar bahkan ada desa sampai 100 hekater untuk dijadikan ladang. Pohon-pohon berusia puluhan tahun ditumbangkan menggunakan mesin. Setelah itu dibakar. Setelah dibakar, lahan pertanian itu akan dibongkar menggunakan mesin pembongkar tanah. Akar-akar pohon turut dibongkar. Menurut para pakar iklim, cara seperti ini berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim global.
Hutan Menahan Carbon Dioksida
Analisis The Nature Conservancy bahwa menghentikan deforestasi atau pembabatan hutan, mengembalikan hutan yang rusak dan memperbaiki praktik kehutanan merupakan cara paling efektif dari segi biaya untuk mengurangi 7 miliar metrik ton carbon dioksida per tahun. Setara dengan emisi dari 1,5 miliar mobil, lebih dari semua mobil yang ada di dunia saat ini.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Susan Minemeyer (WRI), Nancy Harris (WRI) dan Octavia Payne (WRI) 25 Januari 2018, menyebutkan bahwa hutan merupakan kunci bagi enam dari 20 solusi iklim yang diidentifikasi dalam kajian tersebut, yang bersama-sama dapat mengurangi 11,3 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca per tahun. Jumlah tersebut setara dengan pemberhentian konsumsi minyak dunia dan sudah mencapai satu per tiga target untuk menekan pemanasan global hingga 2 derajat Celsius di atas tingkat pra industrial, ambang batas untuk menghindari dampak perubahan iklim yang merusak pada tahun 2030.
Analisis ini menyebutkan bahwa menghentikan deforestasi atau pengrusakan hutan adalah tindakan yang sangat menguntungkan kehidupan. Jika pengrusakan hutan dapat dihindari, maka terjadi pengurangan emisi lebih dari 40 persen dari total pengurangan emisi yang dapat dicapai dengan solusi biaya rendah. Analisis ini menghitung bahwa pengurangan 1 ton emisi karbon dioksida dengan biaya kurang dari US$100 per tahun. Melindungi hutan juga memiliki potensi tertinggi untuk memitigasi perubahan iklim berdasarkan kawasan lahan.
Dalam artikel berjudul “Pelestari Hutan Dapat Mengurangi Emisi Karbon Setara Dengan Emisi Semua Mobil di Dunia”, disebutkan bahwa Brasil dan Indonesia bersama-sama menghasilkan lebih dari 50 persen emisi karbon akibat kehilangan tutupan pohon di wilayah tropis sehingga memiliki potensi mitigaasi terbesar dari deforestasi terhindarkan. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) menunjukkan bahwa suhu permukaan bumi pada periode 2011-2020 lebih tinggi 1,09 C dibandingkan periode 1850-1900. Hal ini menjadi kode merah bagi umat manusia. Kenaikan suhu permukaan bumi berdampak pada perubahan iklim di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Pertanian Regeneratif
Apakah karena alasan ancaman perubahan iklim sehingga sektor pertanian ditutup? Apakah karena alasan perubahan iklim sehingga program seperti Revolusi Pertanian di Flores Timur harus dihentikan? Dan jika pertanian dihentikan, lantas siapakah yang akan menanam tanaman pangan untuk dunia?
Program revolusi pertanian seperti yang sedang dilaksanakan beberapa desa di kabupaten Flores Timur patut didukung. Program seperti itu mesti dilakukan di tengah krisis pangan dunia serta masalah anak stunting yang belum terselesaikan. Namun metode pertanian mesti diperbaiki agar maksud baik program ini tidak berdampak buruk terhadap iklim.
NTT, dan Flores Timur khususnya sedang menghadapi permasalahan kronis dari tahun ke tahun seputar menurunnya ketersediaan air bersih, meningkatnya suhu udara, permukaan air laut naik dan menyebabkan abrasi pantai, musim kemarau yang kering dan di musim hujan yang pendek tetapi sering disertai badai yang berujung ke longsor dan anjir bandang. Pertanian mesti mengikuti pola ramah iklim, seperti Pertanian Regenerative.
Majalah CSR.id menulis bahwa pohon dan tanaman di bumi mampu mengikat karbon di dalam tanah. Menyerapnya dari udara dan di saat bersamaan melepaaskan oksigen. Jika anda kebetulan menggali tanah, hal ini akan melepas kembali carbon ke atmosfer.
Dengan demikian, model pertanian yang dianjurkan bukanlah secara besar-besaran membabat hutan dan membongkar tanah menggunakan mesin-mesin penggali tanah seperti eksavator. Tetapi model pertanian yang menciptakan siklus perawatan tanah melalui penggarapan yang bertanggungjawab, yang memperkuat dan mempertahankan keberagaman biologis dan nutrisi di dalam tanah.
Model pertanian ini sedang menjadi jalan tengah antara keberlanjutan pertanian dan keselamatan ekosistym dan mitigasi dampak perubahan iklim. Pertanian skala kecil namun memberikan hasil maksimal dan berkelanjutan.
Para pegiat pertanian regenerative percaya dan menganjurkannya karena menjadi solusi yang membalik ancaman perubahan iklim dewasa ini. Sebab model pertanian ini akan membangun sistem organik di dalam tanah dan meyimpan keanekaragaman hayati tanah, yang mengontrol peningkatan karbon dan memperbaiki efisiensi air tanah.
Karena itu, pertanian tetap menjadi fokus dan prioritas pembangunan karena menyangkut kelansungan penghidupan. Tetapi iklim yang memburuk akan menjadi ancaman kehidupan pula. Maka sejatinya secara bertanggungjawab membangun model pertanian yang ramah lingkungan, yang selalu mempertimbangkan keseimbangan ekosistem tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan mahluk hidup sekitar termasuk kelangsungan hidup manusia. Apalagi struktur tanah di NTT yang tandus dengan lapisan humus tanah yang tipis. Jika pohon-pohon ditumbangkan dan dibakar serta tanah dibongkar maka pada saat yang sama sedang melepas karbon dioksida ke udara dan merusak tata penyimpanan air tanah. Ongkos perbaikan lingkungan sangat besar tak sebanding hasil yang dipanen dari pertanian jenis ini.
Kurang Disadari
Saat ini dampak perubahan iklim sangat terasa sampai ke tingkat rumah tangga, namun hal ini kurang disadari. Kesadaran akan membimbing ke langkah perbaikan kehidupan. Karena itu perlu kampanye untuk melahirkan kesadaran tentang guncangan Pereubahan Iklim yang dampaknya telah terasa sampai ke komunitas-komunitas.
Para pakar iklim memastikan bahwa 90% sebab perubahan iklim berasal dari kegiatan manusia. Salah satunya adalah sektor peratanin. Mulai dengan pola bertani ladang berpindah yang menebang dan membakar hutan dan lahan, membiarkan permukaan tanah pertanian terbuka dan telanjang, penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk pestisida dan herbisida serta mekanisasi pertanian dengan pembajakan tanah besar-besaran.
Analisis iklim menyebutkan bahwa tanah dan pepohonan berfungsi mengikat karbon. Penebangan pohon, pembakaran serta pembajakan tanah memicu emisi karbon dioksida.
Analisis yang dilakukan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial dalam program Voice Inclusivenes Climate Resilience (VICRA) di beberapa desa di Flores Timur dapat menyebutkan bahwa telah terjadi banyak perubahan pada alam dan produktivitas manusia akibat dampak perubahan iklim.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, komunitas-komunitas di Flores Timur merasakan dan mengidentifikasi perubahan signifikan pada alam dan mata penghidupan. Debit air menurun disertai turunnya permukaan air kali serta aliran air dari gunung yang tidak menjangkau laut sepanjang tahun dibandingkan 30 tahun silam. Suhu udara meningkat, abrasi pantai menghilangkan lahan pertanian dan tanaman produktif sepanjang pantai. Musim kemarau sangat kering dan di musim hujan semakin pendek dengan intensitaas yang tinggi pada beberapa hari tertentu sehingga mengakibatkan banjir, longsor, pemukiman terendam, kasus demam berdarah dan malaria meningkat.
Musim hujan 30 tahun silam lebih Panjang namun jarang terjadi bencana. Saat ini curah hujannya pendek namun meningkat dalam beberapa hari yang mengakibatkan banjir dan longsor. Setelah itu diikuti kekeringan Panjang. Para petani gagal, masalah ketersediaan pangan dan mallnutrisi bagi anak-anak.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai riset (Boer et al, 2008; (Apriyana et al, 2016; dan Nugroho et al, 2019), bahwa terjadi penurunan produksi pertanian di berbagai daerah. Di Sumatra Barat, penurunan produksi panen mencapai 6,43%.. Secara keseluruhan diramalkan produksi beras di berbagai daerah di Indonesia akan menurun sebesar 0,6 ton per hektar. Pada 2025, produksi pangan akan menurun 12 ribu hingga 162 juta ton. Akumulasi potensi kerugian ekonomi Indonesia sebesar Rp. 544 triliun pada periode 2020-2024. Sektor pertanian diprediksi mengalami kerugian hingga mencapai Rp. 78 triliun.
Pembangunan sektor pertanian menjadi kebutuhan. Tetapi model pertanian berkelanjuitan dan ramah iklim wajib jadi pilihan. Sebab Perubahan Iklim bukan cerita bohong dan dampaknya adalah nyata.***
Oleh Melky Koli Baran (Aktivis Lingkungan dan Pendiri Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial, tinggal di Waibalun, Larantuka, Flores Timur )