Membakar di lahan yang akan ditanami memang sudah jadi tradisi, namun mengubah cara bertani menjadi cerdas iklim lebih solutif.

Langkah enggan Siprianus Ludok Hayon terhenti. Dia salah seorang anggota kelompok tani Tawa Gere di Desa Lewomuda. Langkahnya tak bisa dihentikan. Bertahun-tahun mengolah tanah kering di desanya. Dari ladang tadah hujan ini, ia dan warga sekampung menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Menanam pangan seperti padi ladang, jagung, singkong dan berbagai jenis kacang di lahan tandus butuh nyali. Belum lagi berbagai aturan adat yang mesti para petani patuhi dalam seluruh proses bertani selama setahun.
Di tengah tantangan ini, Siprianus Ludok Hayon dan rekan petani lainnya diajak belajar bertani cerdas iklim oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial bekerja sama dengan CRS (Catholic Relief Services) melalui program Increasing Resiliency Through CCA and DRR in Nusa Tenggara disingkat INCIDENT.
Pola bertani sederhana, namun tak lazim ini membuat langkah Siprianus dan petani sekampungnya nyaris terhenti. Menyiapkan kebun tanpa membakar bertentangan dengan adat dan kebiasan bertani turun temurun. Petani rajin diukur dari bersih tidaknya kebun yang dia garap. Beda jauh dengan pola bertani cerdas iklim yang baru dikenalkan ini.
Siprianus menjelaskan bahwa petani mesti membuat terasering. Gunanya untuk menahan erosi tanah. Daun-daun dan sampah sisa panen di kebun tidak boleh dibakar tetapi dijadikan mulsa menutup permukaan tanah. Supaya tanah senantiasa lembap dan rumput liar sulit tumbuh.
“Cara ini sangat bertentangan dengan adat, yakni kebun harus dibakar pakai upacara. Hal ini wajib”, tutur Siprianus.
“Karena itu, kami sepakat untuk mebuat contoh pada sebidang kebun. Kami sebut demplot. Di kebun ini dibuat teraseringnya. Sampah kebun tidak dibakar, tapi ditebar menutupi seluruh permukaan tanah kebun. Bahkan kami mesti ambil daun-daun di hutan karena di kebun masih kurang”, katanya lagi.
Walau diragukan hasilnya bahkan mendapat kritik dari petani lainnya, Siprianus dan petani lainnya yang mengurus demplot tak bergeming. Fasilitator dari Yayasan setia mendampingi. Memasuki bulan Maret 2023, keraguan perlahan tertepis. Siprianus Ludok Hayon dengan percaya diri bercerita bahwa kebun demplot cerdas iklim memang tampil beda dari kebun lainnya.

“Panas terik tanpa hujan selama dua minggu di bulan Maret tak membuat tanaman di kebun demplot terpuruk layu. Beda dengan kebun warga lainnya”.
Ia bersaksi bahwa ternyata kebun demplot yang diberikan mulsa masih sangat lembap dan basah setelah beberapa hari tidak turun hujan. Tentu sangat berbeda dengan lahan yang tidak diberikan mulsa. Sudah pasti tanahnya kering.
Ia menjelaskan bahwa pada masa pertumbuhan tanaman, kebun demplot dilanda kekeringan karena hujan tidak datang selama kurang lebih dua minggu. Namun mengagumkan adalah tanaman di dalam demplot tetap segar dan hijau. Sedangkan tanaman di kebun lain mulai nampak layu, kurang segar dan kerdil. Padahal sama-sama berada pada satu kawasan dan curah hujan yang juga sama.
Dengan hasil yang nyata ini, para petani pengelola demplot sangat percaya diri menjelaskan tentang apa itu pertanian cerdas iklim. Siprianus Ludok Hayon menjelaskan bahwa mulsa itu punya manfaat menjaga kelembapan tanah. Juga menahan erosi tanah ketika hujan. Rumput liar adalah salah satu tantangan dalam berkebun di musim hujan, dan mulsa ini menghambat pertumbuhannya. Ia memastikan juga bahwa musim tanam berikutnya, kebun demplot ini semakin subur karena lapuknya mulsa organik yang menutup permukaan tanah kebun.
Yosep Sedu Hayon serta kawannya Siprianus dan anggota kelompok tani Tali Tulun memandang pola pertanian cerdas iklim sangat membantu petani dalam mengurangi bencana kelaparan karena gagal panen.
“Sekarang saya baru sadar bahwa terasering sangat penting karena bisa menahan humus tanah agar tidak terbawah banjir. Mulsa juga sangat berguna untuk menjaga tanah tetap lembap serta sebagai penyubur tanah. Semacam pupuk organik”, demikian penjelasan Yosef. Ia juga menyesal karena pengetahuan ini baru mereka peroleh saat ini. Tahun dan musim mendatang, cara bertani yang sangat bagus ini diteruskan dan tingkatkan. Terlebih menggunakan mulsa.
Walau sukses, Siprianus dan Yosef, dua orang petani dari Lewomuda merasa masih ada tugas tambahan ke depan untuk mendamaikan pertanian cerdas iklim dengan aturan adat setempat. Pada setiap tahap berkebun selalu dilakukan seremonial adat. Salah satunya adalah seremoni adat tebas dan bakar kebun.***