
Sekitar sudah satu bulan lebih kami berada di Posiwatu terhitung dari tanggal 17 Juli 2023 lalu. Di Posiwatu kami menjalankan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Sekolah Lapang Kerja Budaya (SLKB) yang mana akan berlangsung selama empat bulan, yakni bulan Juli sampai November. Program MBKM-SLKB ini berfokus pada bidang kedaulatan pangan (food sovereignty). Merujuk pada ‘Buku Panduan Umum 1 Program MBKM-SLKB Bidang Kedaulatan Pangan/2023’ menjelaskan kedaulatan pangan adalah hak dan kemampuan suatu masyarakat untuk menentukan dan mengendalikan sistem pangan mereka sendiri mulai dari segi produksi, distribusi, hingga konsumsi. Konsep ini lahir sebagai respons dari kekecewaan terhadap kebijakan pembangunan pangan dan pertanian di berbagai belahan dunia yang mana tidak menguntungkan para petani dan justru terus merugikan mereka akibat dari sistem perdagangan yang tidak adil. Maka, konsep kedaulatan pangan bermaksud untuk membuka ruang bagi hak dan akses masyarakat pada seluruh sumber daya lahan, air, agro-ekosistem mikro, sarana produksi, teknologi, pemasaran, serta konsumsi.
Program ‘MBKM-SLKB Bidang Kedaulatan Pangan’ merupakan program rintisan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Rintisan ini dalam rangka membangun kedaulatan pangan melalui proses magang/praktik kerja nyata mahasiswa di desa selama 1 semester yang dipandu oleh mentor dan dosen pendamping. Sedangakan tujuan program tersebut, yakni menemukenali keanekaragaman hayati dan budaya lokal yang terkait dengan sistem pangan (food system) dan jejak pangan (foodways) untuk peningkatan gizi, membantu pemetaan wilayah desa/kampung/ohoi untuk membangun pangkalan data kedaulatan pangan, menemukan potensi-potensi lokal untuk membangun sistem dan kedaulatan pangan, memfasilitasi prakarsa-prakarsa lokal dalam membangun sistem dan kedaulatan pangan, menemukan contoh atau prototipe untuk literasi dan inovasi pangan lokal, dan mendayagunakan pamong Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) sebagai aktor dalam pemajuan kebudayaan.
Terkait dengan pelaksanaan program tersebut, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek memilih 2 Universitas, salah satunya ialah Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero. IFTK Ledalero mengutus 10 mahasiswa semester 7 Prodi Filsafat untuk ikut serta dalam program tersebut. Lokasi pelaksanaan program untuk mahasiswa utusan IFTK Ledalero adalah di Posiwatu, Desa Posiwatu, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT. Dalam jadwalnya bahwa program tersebut akan berlangsung dari bulan Juli sampai November 2023 dan berlangsung di Posiwatu saja. Posiwatu adalah sebuah Desa yang baru mekar dari Desa induknya Desa Imulolong pada bulan Oktober 2004. Saat ini usianya 18 tahun. Desa Posiwatu memiliki tiga dusun, yakni dusun Soga Levo, Bala Kopong, dan Wato Lela. Ketiga dusun tersebut tersebar di dalam kampung Posiwatu saja.
Kami bersepuluh berangkat dari kampus IFTK Ledalero pada Minggu, 16 Juli 2023 menggunakan mobil pick up. Kami tiba di Pondok Liberti, Larantuka kurang lebih pada pukul 18.00 WITA. Perjalanan kurang lebih tiga jam itu cukup melelahkan. Ada beberapa orang yang mabuk perjalanan. Di Larantuka, kami nginap di Pondok Liberti. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Lembata. Kami berangkat dari pelabuhan Larantuka sekitar pukul 08.30 WITA menggunakan kapal cepat dan menghabiskan dua jam perjalanan untuk tiba di pelabuhan Lewoleba dan di sana kami dijemput oleh beberapa mentor YPPS. Setelah makan siang di salah satu warung dekat pelabuhan tersebut, kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Desa Posiwatu menggunakan bus Karunia Indah.
Perjalanan ke arah selatan Pulau Lembata tersebut cukup menegangkan. Beberapa kilometer saat ke luar dari kota Lewoleba itu aspalnya mulus. Ketika memasuki kampung Botomobil kami ke luar masuk lubang jalan. Tambah lagi jalannya berdebu. Kepulan debu hampir mengubah warna mobil kami menjadi warna putih. Hal itu terjadi karena kondisi jalan dalam perbaikan. Tidak hanya itu, jalur dari Puor sampai Posiwatu juga masih banyak aspal yang berlubang. Jalannya juga hanya menurun saja sehingga sopir harus lihai dan lincah mengontrol rem mobil.
Ketegangan yang kami alami selama perjalanan terbayar lunas ketika sampai di Desa Posiwatu. Setelah beberapa menit turun dari bus, kami diararak oleh warga memasuki kantor Desa Posiwatu menggunakan tarian adat ‘tumbuk padi’(baikwat). Kami diterima secar adat oleh mereka. Di dalam kantor Desa, kami disuguhkan makanan tradisional, seperti jagung titi, kacang tanah goreng, ubi singkong rebus, pisang rebus, dan kolak. Ada banyak jenis makanan tradisional milik orang-orang Posiwatu. Tidak hanya jagung titi atau kacang tanah dan jenis lainnya seperti yang kami nikmati di kantor Desa pada saat pertama kali kami tiba di sini. Berdasarkan hasil penelusuran kami selama satu bulan lebih ini, ada kurang lebih 80-an jenis pangan lokal. Delapan puluhan jenis pangan tersebut tersebar di kebun/ladang, hutan, dan pekarangan rumah. Ada yang dibudiyakan, ada juga yang tumbuh liar di hutan, seperti salah satunya kacang hutan (ipai dan uta inan).
Kedua jenis kacang tersebut mengandung racun dan sangat pahit. Namun, orang-orang Posiwatu sejak nenek moyang mereka sampai sekarang menjadikan kacang tersebut sebagai bahan makanan. Kacang ipai dan uta inan harus direbus sebanyak tujuh sampai sepuluh kali untuk menghilangkan kadar racun dan rasa pahitnya. Saat dimakan harus dicampur dengan parutan kelapa tambah garam sedikit. Selain itu, mereka juga mengolah biji asam dan ubi hutan (koles dan misur) menjadi makanan. Masih banyak pangan lokal lainnya yang mengandung racun, banyak getah, dan rasa pahit, tetapi diolah oleh orang-orang Posiwatu menjadi bahan makanan yang enak.
Kami mendapatkan data pangan-pangan tersebut dengan cara mewawancarai kelompok-kelompok tani. Di Posiwatu terdapat lima kelompok tani, yakni kelompok tani 1 (Walang Apu), tani 2 (Tar Kneka), tani 3 (Vat Keder), tani 4 (Lado Manuk), dan kelompok tani 5 (Lusi Knatan). “Data sudah ada di masyarakat, tetapi untuk dapatkan itu kita perlu bertemu mereka, bergaul dengan mereka, dan menggunakan bahasa atau medium komunikasi yang dipahami oleh mereka,” kesan Apong Boru salah satu mahasiswa IFTK Ledalero yang mengikuti program MBKM-SLKB di Desa Posiwatu tersebut. Kelompok-kelompok tani tersebut berada di bawah dampingan YPPS (Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial) sejak tahun 1999 sampai sekarang. Kami juga melakukan wawancara terhadap beberapa tokoh tani. Menurut mereka beberapa tahun terakhir ini pergantian musim tidak lagi menentu. Hal itu sangat berpengaruh terhadap hasil panen. “Beberapa tahun terakhir ini musim tidak lagi menentu. Kita susah menebak kapan musim panen harus mulai. Jadi, kita tunggu saja,” terang Aleksander Doni Lanang (78) salah satu petani ‘senior’ di kampung Posiwatu saat diwawancarai oleh kami.
Kampung Posiwatu berada tepat di lereng Gunung Labaleken. Dari kampung dapat kita lihat hamparan luas Laut Sawu. Kondisi topografi tersebut juga menentukan tingkat keseburan tanah (lahan pertanian). “Kebun–kebun yang berlokasi ke arah gunung tentunya memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dari pada kebun-kebun yang mengarah ke pantai sehingga ada perbedaan hasil panen antara para petani di kampung ini,” terang bapak bapak Sander itu. Jadi, jangan heran kalau kita akan menemukan perlakuan terasering di setiap lahan pertanian orang-orang Posiwatu. Perlakuan terasering tersebut untuk mengurangi panjang lereng dan menahan dan atau memperkecil aliran permukaan agar air meresap ke dalam tanah sehingga dengannya membantu menjaga kadar keseburan tanah.

Selain mendata pangan lokal, kami juga melakukan pendataan tentang kehidupan sosial budaya orang-orang Posiwatu. Di Posiwatu terdapat 6 suku, yakni suku Narek, suku Lanang, suku Baran, suku Bean, suku Wuwur, dan suku Manuk. Sebenarnya ada 7 suku, tetapi salah satu suku, yakni suku Una Rajan memisahkan diri dan tinggal di kampung Lamalera. Dalam cerita orang Posiwatu, mereka selalu menyebut 7 suku tersebut sebagai 7 bersaudara. “Tujuh bersaudara itu maksudnya saudara dalam suku bukan saudara kandung atau saudara serahim,” kata kepala Desa Posiwatu Nikodemus Nuba ketika diwawancarai oleh kami. Yang menjadi suku sulung ialah suku Narek. Penentuan itu berdasarkan pada sebuah ritual potong hewan di Duang (salah satu tempat yang orang-orang Posiwatu menjadikannya tempat sakral) oleh nenek moyang mereka dulu. Masing-masing suku juga memiliki perannya.
Pasca peristiwa Lepan Batan (bencana tsunami), nenek moyang Posiwatu, yakni tujuh suku tersebut melakukan pelarian mencari suaka hingga tiba di Posiwatu dan menetap di sana sampai saat ini. Hubungan kesukuan dan memiliki sejarah yang sama itu menjadikan orang-orang Posiwatu menjujung tinggi persaudaraan dan kekeluargaan. Kegiatan apa saja dalam kampung selalu dilaksanakan secara bersama-sama.
Selama satu bulan lebih ini di Posiwatu, selain melakukan pendataan dan pemetaan wilayah, kami juga terlibat aktif dalam semua kegiatan masyarakat dan OMK (Orang Muda Katolik), seperti acara suku, persiapan dan pesta 17 Agustus, koor, katekese, dan sebagainya. Adapun hasil dari program MBKM-SLKB tersebut nanti adalah karya-karya seperti sistem pangkalan data di tiap desa lokasi, catatan-catatan lapangan (field notes) dan etnografis, serta dokumentasi audio, infografis, dan audio visual.
Sumber: Instutut Filsafat Teknologi Kreatif-Ledalero
http://www.iftkledalero.ac.id/public/detail/mbkm-slkb-cerita-mahasiswa-iftk-ledalero-di-desa-posiwatu