
Bukit Barahia dan Bejaja Mumuk tegak menggapai langit. Lembah di bawahnya dibelah oleh Kali Belen hingga menjangkau pantai Laut Flores. Di dua bukit itu, di masa silam, orang Lamatou di komunitas adat Lewolema berkebun dengan cara ladang berpindah. Jarak kebun yang jauh dari kampung Lamatou memaksa para petani menghemat waktu dan tenaga. Mereka pun mendirikan pondok yang tidak sekadar untuk berteduh, tapi layak huni. Mereka menetap di kebun selama beberapa hari. Lambat laun lembah di bawah bukit-bukit itu berkembang. Bermunculan hunian-hunian kecil hingga menjadi kampung yang saat ini disebut Kampung Welo. Penghuni Kampung Welo terus berkembang. Kampung yang terbagi dua dusun itu dihuni oleh 555 jiwa penduduk dengan 149 kepala keluarga, terdiri dari 269 laki-laki dan 286 perempuan. Sebanyak 235 orang bekerja sebagai petani, selebihnya bekerja di sektor lain sambil merangkap sebagai petani.

Sepuluh tahun setelah lembah Welo berpenghuni, pada tahun 1940, Kali Belen meluap. Rumah-rumah dan harta benda terendam air yang kemudian menyisakan genangan air dan disusul wabah penyakit. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya 1960 terjadi lagi banjir kedua. Menyusul lagi tahun 1982, Maret 2012, dan Januari 2013. Jarak antara kejadian satu dengan yang lainnya semakin pendek. Pasca banjir Maret 2012, YPPS mendatangi kampung ini. Sebuah kajian awal dilakukan, disusul kajian kapasitas dan kerentanan bersama masyarakat. Lalu dimulailah program pengurangan risiko bencana di kampung ini. Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) dan kelompok Perempuan Tangguh terbentuk untuk bersama-sama menggerakan partisipasi masyarakat. Berbagai penguatan kapasitas masyarakat dilakukan.
Kalangan perempuan di kampung ini mencatatkan peran yang tidak kecil. Mereka aktif menggelar sejumlah aksi, mulai dari penanaman bambu di pinggiran Kali Belen, aksi Jumat bersih di kampung, dan melakukan kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP). Ada beberapa faktor yang membuat program di wilayah ini berhasil. Pertama, kegiatan TSBD dan Perempuan Tangguh terintegrasi ke dalam kelompok-kelompok masyarakat di komunitas. Seperti Kelompok UBSP dan Komunitas Basis Gerejani (KBG). Kedua, mendorong pengurangan risiko bencana ke dalam program pembangunan desa. Dengan melakukan kerja sama multipihak di bawah koordinasi pemerintah desa. Ketiga, budaya dan kearifan lokal.Semangat gotong royong dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program. Pendekatan yang berbasis sosio-kultural membuahkan partisipasi dan swadaya. Keempat, peran kaum perempuan yang aktif di kampung ini. Mereka aktif menyampaikan gagasan-gagasan cerdas dalam setiap pertemuan.
Bukan hanya bicara, mereka juga terjun langsung ke lapangan. Koordinator TSBD, Hendrikus Hugo Hekin mengatakan, beberapa kegiatan telah dilakukan untuk mengurangi risiko banjir; pembersihan Kali Belen melibatkan Kodim 1624 Flores Timur, juga perbaikan jaringan pipa air bersih dan pembangunan rabat jalan usaha tani (JUT) sepanjang 440 meter. Selama YPPS memfasilitasi warga di Kampung ini, mereka selalu melakukan evaluasi bersama setiap bulan. Selain melakukan analisis kapasitas dan kerentanan kampung secara partisipatif sampai dengan menghasilkan dokumennya, warga juga mendapatkan pelatihan bagaimana mengembangkan gagasan-gagasan ke dalam rencana kegiatan dan proposal. Dari analisis, Kampung Welo tidak hanya terancam banjir. Dalam kegiatan analisis kapasitas dan kerentanan Desember 2012 hingga Februari 2013 tercatat bahwa Kampung Welo selain ancaman banjir, tetapi juga abrasi, kekeringan, wabah penyakit dan angin kencang
Sumber: Buku “Menuju Komunitas Tangguh”. Kompilasi Pengalaman Mitra dalam Pengelolaan Risiko bencana – Program DRR/BDR 2013-2014